Hutan Tora Dikorbankan, Bencana Sumut jadi Peringatan
foto bersama
setelah acara diskusi
Semarang, - Desember 6, 2025 imtwalisongo.blogspot.com – Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) komisariat UIN Walisongo Semarang mengadakan diskusi wacana pada hari Jumat, 5 Desember 2025. Diskusi ini bertempatkan di sisih Auditorium 2 kampus 3 UIN Walisongo, Ngaliyan, Semarang, yang diikuti oleh anggota dan pengurus IMT dengan suasana yang berlangsung kondusif.
Diskusi wacana dibuka
oleh Jihan Sahilina selaku moderator, dengan ucapan salam dan memberikan gambaran
tema diskusi mengenai isu lingkungan dengan fokus pada “Bencana Akibat
Tambang dan Pembalakan Hutan di Sumatera Utara”. Setelah pembukaan, Jihan
(moderator) memperkenalkan pemateri yaitu, Esa Azriel Azzahra selaku pengurus IMT
Departemen Wacana 2025 yang menjadi pemateri diskusi ini.
Dalam pemaparan awal, Esa (pemateri) menyampaikan tiga pembahasan: fenomena alam di Sumatra Utara, penyebab, dan analisis data. Dengan interaksi singkat mengenai fenomena tersebut dengan banjir, longsor, serta hutan gundul. Sebelum masuk inti pemateri memberikan sedikit info terkait diksiI 'bencana alam' yang telah dihapus oleh PBB karena dianggap penyebab bencana sepenuhnya berasal dari alam itu sendiri, padahal PBB menilai adanya campur tangan manusia di dalamnya seperti aktivitas tambang, pembalakan liar, dan kerusakan lingkungan lainnya. Hal ini diperkuat dengan kata bencana berasal dari Bahasa Sansekerta 'bancana' yang berarti segala sesuatu yang terjadi di alam akibat ulah manusia.
Selanjutnya, Esa memaparkan fenomena kerusakan lingkungan di Sumatra Utara, meliputi banjir bandang, longsor, matinya satwa liar, serta hilangnya kawasan hutan. Menurut data yang telah dikutip dan diriset oleh Ferry Irwandi, banjir bandang menjadi fenomena terbesar yang melanda wilayah tersebut, kemudian pemateri menguraikan tiga faktor penyebab utama bencana. Faktor pertama cuaca, yaitu kemunculan siklon tropis di Selat Malaka dan Laut Sulu yang menarik awan dari radius ribuan kilometer sehingga menghasilkan curah hujan yang ekstrem. Di mana biasanya curah hujan hanya sekisar 300 mm per hari menurut BMKG meningkat menjadi sekisar 800 mm per hari selama empat hingga lima hari tanpa henti.
Faktor kedua lingkngan. Menurut data, kawasan Hutan Toba termasuk penopang utama ekosistem di Sumatra yang mengalami kerusakan padahal luas hutan tahun 2000an masih sekitar 90% kini hanya tersisa 29% pada tahun 2025. Penurunan drastis ini akibat praktik aktivitas tambang (legal maupun ilegal). Serta pembalakan hutan dengan skala besar mengakibatkan kehilangan fungsi ekologi sebagai penyerap air. Di mana ketika hujan turun, air akan langsung meluncur ke pemukiman tanpa mampu ditahan oleh akar-akar pohon seperti sebelumnya sehingga tidak dapat terhindar dari banjir bandang.
Faktor ketiga tata ruang, kegagalan pemerintah atau ketidakpatuhan masyarakat dalam mengelola ruang, yang mana membangun pemukiman di daerah yang rawan bencana, seperti di pinggir sungai atau lereng gunung rawan longsor. Selain warga, lemahnya pengawasan pemerintah juga termasuk dalam kegagalan mengelola tata ruang. Selanjutnya, Esa menyebutkan bahwa dalam kurun waktu satu minggu banjir bandang tersebut telah merusak lebih dari 42 kabupaten yang ada di Sumatra Utara.
Selain
menjelaskan faktor penyebab, Esa juga meyorot regulasi tambang yang
dinilai longgar, praktik pembalakan yang sulit dikendalikan, serta lemahnya
peran kementerian terkait dalam mengawasi penebangan hutan dan izin
eksploitasi. Ia menegaskan bahwa meskipun tambang legal maupun ilegal sama-sama
memberikan dampak ekonomi, keduanya tetap menjadi penyebab utama kerusakan
hutan dan hilangnya fungsi ekologis di Sumatera Utara.
Dalam bagian akhir penjelasannya, Esa menyampaikan tentang langkah-langkah penanganan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk saat ini, dukungan yang paling realistis dilakukan mahasiswa adalah melalui aksi solidaritas, penggalangan dana, dan penyebaran informasi. Sementara untuk jangka panjang, pemerintah didorong memperketat regulasi tambang dan membangun infrastruktur mitigasi bencana seperti tanggul, pengaman banjir, serta perlindungan kawasan hutan. Ia menegaskan bahwa bencana tidak dapat diprediksi, namun kerusakan alam dapat dikurangi jika tata kelola lingkungan diperbaiki.
Rep. Lidza Qotrun Nada / Red. Akmal

Komentar
Posting Komentar