Itu Ibu
Sumber Foto: Kompas.com
Aku kembali mengelap keringat yang mengalir deras di pelipisku, entah mengapa hari ini mentari terasa sangat terik bersinar. Aku masih diam menatap rumah besar itu, rumah dengan halaman depan yang luas, taman yang penuh dengan bunga, dan kolam renang yang besar, dalam hati aku berkata “andai aku lahir dari keluarga yang kaya, pasti aku ngga disini sekarang.
Aku Ahmad, seorang anak dari pasangan sederhana dipelosok desa, aku sudah lulus SMP, namun kendala biaya tidak mengizinkanku untuk melanjutkan pendidikan kejenjang atas, setiap hari aku mbantu perekonomian orang tua, ayah yang cuma berdagang dan ibu yang sibuk diladang milik orang tidak bisa secara penuh membiayai keseharian keluarga, aku sebagai anak laki-laki pertama terpaksa harus ikut bekerja.
Aku berjualan di taman kota, atau kalau sedang semangat, aku juga berjualan di alun-alun kotaku. Penghasilan yang minim, ditambah dagangan yang memang bukan milikku tentunya tidak membantu banyak, tapi kembali lagi, “apa yang bisa dilakukan anak lulusan SMP”.
Aku pulang jam 5 sore, sebelum ke rumah, aku terlebih dahulu ke rumah pak Samsul, beliau adalah pemilik dagangan yang aku jajakan, beliau juga yang membantu aku ketika aku sedang bingung membantu perekonomian keluarga. Keluarga pak Samsul tidak berbeda jauh dari masyarakat ppada umumnya, beliau tidak kaya, namun tidak juga dikatakan miskin, beberapa kali aku memergoki beliau dimarahi istrinya karena mengizinkan aku untuk ikut berdagang dengan beliau, akibatnya penghasilan yang masuk ke keluarga mereka jadi berkurang, namun ketika aku mengungkapkan apa yang kulihat, pak Samsul hanya berkata kalau beliau ingin membantuku, mungkin sesimple itu ucapan beliau, tapi aku tahu bahwa hati beliau sangat lembut untuk seorang kepala rumah tangga.
Sampai dirumah aku disambut oleh ibuku, beliau langsung menyuruhku mandi dan makan, aku melihat kakak perempuanku yang sedang menata meja makan ketika aku berjalan menuju kamar mandi, yahku belum pulang, biasanya beliau pulang sehabis isya menunggu dagangannya habis, walaupun itu seperti menunggu ketidakpastian, nyatanya tidak selalu daganagn ayahku habis ketika pulang.
Rasa lelah seperti mengalir bersamaan dengan air yang kujatuhkan ke badanku, perlahan aku menikmati mandiku, sampai ibu kembali mengajakku untuk makan, saat itu adzan maghrib sudah berkumandang, aku segera menyudahi mandiku dan bergegas sholat, ibu, kakak, dan adikku sudah menunggu dimeja makan.
Selesai salam aku mendengar ayahku mengucapkan salam, aku keluar dan menyaliminya, dengan raut bahagia beliau bercerita bahwa tadi dimasjid ada jamaah yang memborong dagangan baksonya untuk rapat, sehingga ia bisa pulang lebih cepat, alhamdulillah. Kamipun makan bersama dimeja makan, walau dengan lauk seadanya, aku merasakan sebuah kehangatan yang sampai kehatiku, hangat yang lebih lembut dari selimut, dan lebih nyaman dari sekedar kasur berbusa.
Selesai makan aku duduk sendiri didepan rumah, termenung memikirkan angan yang selalu hadir disetiap kesendirianku.
“Ada apa Mad, ada yang kamu pikirkan?” kata ayah yang tiba-tiba ada disampingku
“Oh, engga yah, aku cuma lagi mikir, sampai kapan yah kita akan terus dengan kekurangan ini” ucapku sambil tertunduk lesu
Ayah duduk disampingku, beliau mengelus kepalaku dengan lembut, aku menatapnya dengan sendu, entah apa yang aku rasakan dan fikirkan, semuanya campur aduk
“Suatu saat kamu akan mengerti tentang arti kehidupan ini mad, sekilas kekayaan menggambarkan sebuah kebahagiaan, namun kebahagiaan itu bukan serta merta hanya dengan kaya saja, kamu akan tahu seiring berjalannya waktu, sekarang kamu sedang ditekan untuk menjadi dewasa, itu sebabnya kadang kamu merasa marah, kecewa, sedih, atau bahkan seolah ingin memberontak dengan keadaan ini, itukan yang kamu rasakan sekarang.” Ayah masih menasihatiku dengan nadanya yang lembut, entah mengapa yang diucapkan ayah seolah benar kurasakan, aku marah saat aku tidak bisa melanjutkan sekolah, aku sedih ketika melihat lauk dimeja yang Cuma ada nasi dan tempe, aku kecewa ketika aku bahkan tidak bisa malkukan apapun untuk membantu keluarga. Malam itu diakhiri pertanyaanku tentang apa yang akan terjadi kedepannya, apakah aku akan melanjutkan keadaan keluarga yang serba kekurangan, atau aku akan bisa memperbaiki itu dan mengubahnya menjadi kehidupan yang berkecukupan.
Pagi hari aku dibangunkan oleh jam beker tua yang bedering keras disamping kamar tidurku, adikku sudah tidak berada disampingku, aku bangun untuk menuju kamar mandi, 10 menit lagi adzan subuh berkumandang, namun aku terpaku saat melihat adikku yang sedang mengadahkan tangannya disamping tempat tidur, dia memohon untuk kesehatanku dan ayah, aku melihat air mata perlahan mengalir dipipinya, membuat hal serupa juga terjadi padaku, aku bergegas mengelap air mataku dan cepat-cepat menuju kamar mandi agar adikku tidak melihatnya, aku mengusap wajahku dengan air kolam yang dingin, berulangkali sampai bekas itu tidak terlihat lagi diwajahku, sekembalinya aku dari kamar mandi adikku sudah habis dari doanya, dia tampak sedang menulis di ruang tengah, aku juga melihat ayah yang menemaninya dengan sarung rapih terpasang disampingnya, ibuku keluar dari kamar memanggil kami untuk melaksanakan sholat berjamaah, begitulah keseharian kami, sholat berjamaah selalu dilakukan walau beberapa anggota tidak ada dirumah, jika ayah belum pulang, akulah yang menggantikannya menjadi imam.
Selesai sholat, semua kembali sibuk dengan kegiatannya masing-masing, ibu memasak, ayah duduk diteras rumah sambil ngopi, kakak menyapu, dan adikku mandi. Aku iseng ingin membantu menyiapkan jadwal pelajaran adikku, sekalian mengenang masa sekolah dulu, setelah melihat jadwal yang tertemel di tembok kamar aku mulai menyiapkannya, mengambil satu buku PKN, IPS, dan Bahasa Indonesia, ketika aku membuka tas milik adikku, mataku tertuju ke sebuah surat yang ada didalamnya, aku mengira itu surat cinta, jadi aku mengambilnya karena ingin melihat isinya, biasanya anak yang baru masuk SMP memang lagi gencar-gencarnya masalah asmara, dengan senyum tipis dibibirku aku membukanya, seketika seyumku pudar, berganti marah yang kini memenuhi diriku, betapa kagetnya aku melihat isi surat itu yang ternyata adalah daftar tunggakkan sekolah adikku, aku duduk disamping kasur menunggu adikku selesai mandi, aku tidak habis fikir dengan tunggakan sebanyak itu, belum selesai aku selesai memandangi surat itu adikku masuk kamar, dengan wajah datar aku melempar surat itu ke kasur.
“Kenapa kamu ngga bilang kalau dikasih surat tunggakan? Kamu mau berhenti sekolah dengan tetap tidak membayar itu? Kamu tau ngga susahnya ayah nyekolahin kita hah?” ucapku dengan wajah datar tanpa melihat kearahnya
“Mas tau ngga rasanya minta uang keorang yang sedang susah, aku mau mas minta itu, aku mau sekolah bahkan yang lebih tinggi, tapi aku ngga mau nyusahin mas, aku ngga mau nyusahin ayah ibu, cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja mas membantu, urusan sekolahku biar aku yang susah, jangan orang lain” ucapna dengan linangan air mata
“Berapa hari lagi kamu dikasih waktu untuk membayar itu?” tanyaku sambil menatapnya kosong, air mata kutahan sekuat mungkin untuk tidak turun
“Tinggal 5 hari lagi”
“Jangann kasih tau ibu, sebelum hari itu aku usahakan angnya sudah ada” ucapku sambil melenggang pergi
Seiring berjalannya langkah kaki, kebingungan memenuhi otakku, entah dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu, aku melihat ibu yang sedang menyiapkan alat untuk ke ladang dengan kakakku, entah ayahku dimana saat itu.
Hari ini aku berangkat ke pak Samsul lebih pagi, berniat untuk jualan lebih awal agar bisa selesai lebih cepat dan mencari penghasilan tambahan, aku mengungkapkan keinginanku kepada beliau dan diberi izin, tepat pukul 7 pagi aku berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, menjajakan daganganku kesepanjang jalan yang kulewati, namun sayangnya, sudah hampir 3 jam aku berkeliling daganganku belum juga terbeli satupun, lelah terasa di kakiku karena menggoes sepeda cukup jauh, aku istirahat didepan sebuah kantor, dibawah pohon rindang yang tumbuh disamping jalan, hingga ada seorang pemuda yang menghampiriku.
“Sedang apa dek disini sendirian?” tanyanya
“Jualan mas.” Jawwabku kepadanya
“Adek jualan apa?”
“Kue, banyak mas, ada bolu, lapis, sama kue kembang, mas mau beli?” jawabku semangat
“Boleh, boleh mas lihat?”
“Boleh mas, itu disana daganganku” jawabku dengan menunjuk sepeda yang tak jauh kuparkirkan dari tempatku beristirahat
“Adek jualan dari jam berapa?” tanyanya sambil memilih-milih daganganku
“Dari jam 7 mas, biasanya sih jam segini baru jalan, tapi ini sengaja lebih pagi, soalnya ada kebutuhan yang lebih, tapi ternyata sama aja belum ada yang beli”
‘Oalah, emang orang tua adek dimana, kok adek yang jualan, ngga sekolah?”
“Engga mas,ayah saya jualan bakso mas, tapi sama kaya saya, kepunyaan orang, jadi yang dibawa kerumah ngga begitu banyak, sedangkan ibu saya ngurusin ladang punya orang.” Jawabku, mas-mas itu cuma mengangguk
“Okedeh, ini dibungkus aja semuanya dek, nanti saya bawa ke rumah, kebetulan ini saya mau pulang, dihitung aja”
“Wah serius mas?” tanyaku tidak menyangka
“Iya, oiya, besok pagi disini ada rapat besar, kalo adek mau, besok adek bawa kue yang lebih banyak dari ini, nanti saya beli lagi untuk hidangan rapat” ucapnya lagi
“Iya mas siap, besok saya bawakan yang lebih banyak dari ini, makasih mas” ucapku bahagia
“Sama-sama, itu totalnya berapa?”
“Semuanya 500 ribu mas” jawabku sambil menyodorkan lima plastik besar penuh kue itu. Hari itu rasanya bahagia sekali daganganku diborong, aku bergegas kerumah pak Samsul untuk setoran, kemudian lanjut keluar lagi untuk mencari tambahan. Dirumah pak Samsul, beliau memberiku 200 ribu, aku juga mengatakan bahwa besok disuruh bawa kue yang lebih banyak karena akan diborong lagi oleh mas-mas itu, kata pak Samsul kalau itu jadi, aku akan mendapat bonus tambahan.
Dengan rasa bahagia aku menyimpan uang itu dikantong celanaku, sengaja aku simpan untuk bayar tunggakan adikku, hari masih siang, baru jam 12 saat itu, aku mengayuh sepeda menyusuri jalanan, mencari orang yang menawarkan pekerjaan untukku, sampai tiba disebuah pasar yang ngga jauh dari desa aku berfikir, kenapa ngga jadi buruh pasar aja, nawarin bantuan keorang-orang yang belanjaannya banyak untuk membawakannya, dari situ, mulailah aku menyenderkan sepedaku disamping tukang becak, menitipkannya pada seorang tukang becak yang mangkal disitu.
Hari hampir petang, aku kembali ketempat sepedaku dan mengambilnya, sebelum pulang aku menghitung uang recehan yang aku dapat dari buruh pasar hari itu, ada 178 ribu, ditambah hasil dagang kue tadi pagi semuanya ada 378 ribu. Alhamdulillah.
Aku mengayuh sepedaku dengan penuh kegembiraan, dengan mengantongi uang yang lumayan itu aku bisa membantu adikku membayar tunggakan itu, sampai dirumah aku tidak menemukan ibuku didepan, tumben (batinku).
“Assalamu’alaikum” salamku ketika memasuki rumah, namun betapa terkejutnya aku melihat ayah yang sudah duduk penuh luka diruang tamu
“Ayah kenapa bu?” tanyaku sambil bergegas mendekat
“Ayah ditodong pereman nak dijalan, dagangannya dirusak terus ayah dipukuli karena ngga mau ngasih uang yang ayah dapet” kata ibu
Aku menangis dengan rasa marah, baru aja aku bahagia karena bisa mbantu adik, ayah malah kena musibah, ibuku nenangin aku sambil ngelus-ngelus pundakku, ayahku cuma senyum menatapku.
“Udah mad, ini musibah, ngga ada yang tau, jadi kamu ngga usah nangis, besok juga sembuh” ucap ayahku sambil tersenyum
“Aku ada segini doang bu, semoga bisa buat berobat ayah yah” ucapku sambil ngasih uang hasil kerjaku dari pagi
“Ngga usah nak, itu buat kamu aja, nanti ayah ibu yang beliin obat” ucap ibuku, tapi aku ngga kekeh ngasih itu, aku taruh uang itu dimeja terus aku masuk kamar.
Dikamar aku cuma duduk memeluk lutut, ingin sekali membalas apa yang dilakuin preman itu ke ayahku, tapi “apa yang bisa dilakuin anak lulusan SMP”. Kalimat itu muncul lagi diotakku.
Habis tenagaku buat mikir, seharian kerja dan belum makan, aku ketiduran sambil memeluk lutut. Aku melihat samar ibuku dateng dan memindahku ketempat tidur.
Aku terbangun jam 3 pagi, perutku rasanya sangat perih, aku mencoba menuju dapur, barangkali ada makanan yang masih ada, dan ternyata masih ada nasi dan lauk yang tersisa ditudung saji, aku makan dengan lahap dan mandi, selanjutnya aku siap-siap untuk sholat subuh, hari ini aku harus lebih semangat lagi, karena uang yang kemarin aku kumpulin sudah habis kukasih ke ibu untuk berobat ayah.
Sehabis sarapan aku langsung siap-siap untuk pergi kerumah pak Samsul, hari ini pak samsul menyiapkan kue dengan porsi yang sangat banyak, bahkan sepedaku sempat oleh karena aku tidak bisa mengimbangi eratnya, kali ini tujuanku cuma satu, yaitu kantor tempat mas-mas kemarin, aku langsung tancap gas agar bisa cepat sampai ke koantor itu, karena dia bilang kalau rapatnya akan diadakan pagi, jadi aku ngga boleh telat, pukul 07.45 aku sampai dikantornya, aku langsung berjalan untuk menanyai satpam ang berjaga disana.
“Maaf pak, mas-mas yang kemarin beli kue saya disini dimana yah?” tanya saya
“Mas-mas yang mana yah dek, soalnya kemarin yang jaga bukan saya” jawab satpam itu bingung
“Disini” tiba-tiba mas-mas itu muncul ditengah kebingungan kami, dengan wajah sumringah aku menghampirinya
“Nama saya Fadli, bukan mas-mas” ucapnya terkekeh
“Maaf mas, kemarin belum sempat kenalan, jadi aku ngga tau” jawabku sedikit malu
“Yaudah, langsung bungkus aja dek, kemarin kuenya enak loh, jadi saya ngga ragu buat beli ke kamu lagi”
“Alhamdulillah kalo gitu mas” jawabku sambil memasukkan kue ke kantong plastik
“Semuanya ada 13 kantong mas, ini kantongnnya lebih kecil ngga papa yah mas, soalnya kantong yang besar ngga kebawa, maaf” ucapku
“Iya ngga papa, nanti saya bisa minta tolong satpam buat bantuin bawa, berapa dek” tanya mas Fadli
“800 ribu mas” jawabku
“Ini ada lebihnya, buat kamu yah”
“Wah, makasih banyak mas, makasih”
“Iya sama-sama, terus semangat ya dek jualannya, besok kamu saya mau ketemu kamu lagi, tapi dengan kondisi kamu udah punya mobil dan bisnis yang lebih besar dari sekarang, bisa?”
“Bisa mas, minta doanya aja” jawabku dengan percaya
“Siap, saya masuk dulu” pamit mas Fadli sambil berjalan masuk ke kantor itu
“Iya mas, makasih banyak” jawabku penuh kegirangan, aku langsung pulang kerumah pak Samsul untuk menyetorkan uang hasil jualan itu, ada total 1 juta, 200 ribu buat aku, 800 ribu aku setorkan ke pak Samsul.
“Wah, hebat kamu Mad, hari ini dapet 800 ribu loh, ini buat kamu, makasih yah” ucap pak Samsul senang
“sama-sama pak” aku menerima uang 400 ribu dari beliau, jumlah yang tidak sedikit buatku, aku menyimpannya dan kembali mengayuh sepeda, kali ini tujuanku adalah pasar, kembali menjadi buruh pasar harian untuk menambah penghasilanku.
Sebelum dzuhur aku sudah sampai dipasar, istirahat sejenak disebuah masjid sambil menunggu waktu sholat, selepas dzuhur aku mulai membaur dipasar untuk menawarkan jasa angkut barang, kesana kemari aku menawarkan diri, sampai ngga terasa adzan sudah berkumandang sejak tadi, aku kembali ke masjid dan sholat, sambil duduk aku termenung, sampai saat ini belum ada orang yang memakai jasaku, itu artinya aku belum dapet uang tambahan untuk biaya adikku, aku mencoba merebahkan diriku dilantai masjid, melepas lelah seharian bekerja.
“Udah dapet tambahan?”
Aku bangun karena mendengar orang yang berbicara kepadaku
“Loh, mas Fadli, kok ada disini?” tanyaku kaget melihatnya
“Aku mengantar ibu membeli bahan buat pengajian” jawabnya sambil senyum
“Dari siang aku lihat kamu mondar mandir nawarin jasa angkut barang, udah ada yang dapet?” tanyanya lagi
“Belum mas, kosong” jawabku lesu
“Kenapa kamu bekerja sekeras ini, uang yang aku kasih tadi pagi kurang?” tanyanya
“Masih kurang mas kalau buat bayaran tunggakan adikku.” Jawabku lagi. Akhirnya aku mulai menceritakan semuanya, dari awal aku melihat surat tunggakan itu, ayahku yang yang dipukuli, sampai keinginanku saat melihat rumah yang mewah saat berjualan di alun-alun kota.
“Kamu anak yang baik, semoga besok kamu sukses mencapai apa yang kamu inginkan dek, tapi kamu harus ingat, kebahagiaan tidak hanya menghampiri sikaya, tapi juga semua orang yang menyadari kebahagiaan itu, suatu saat kamu akan tahu apa arti dari kehidupan ini, yang penting kamu gga boleh berhenti berjuang.” Ucanya panjang lebar, nasehat yang sama seperti yang ayah ucapkan kepadaku malam itu.
“Iya mas, terima kasih nasihanya” ucapku
“Sekarang kamu pulang, sudah sore, kasihan orang tuamu menunggu, besok kamu kerja lagi. Ini ada sedikit, semoga membantu” ucapnya sambil menyodorkan uang kepadaku
“Ngga usah mas, saya ngga ngelakuin apa-apa buat mas Fadli, masa mas ngasih saya secara cuma-Cuma, nyari uang ngga gampang loh mas” tolak saya, tapi mas Fadli hanya tertawa renyah
“Hahaha, saya tahu cari uang susah, makannya saya ngasih kamu, adikmu butuh sekolah, ambil aja, aku masih lebih mudah daripada kamu, aku pergi dulu” pamitnya setelah menaruh uang 7 lembar seratus ribuan dipangkuanku
“Terima kasih banyak mas” teriakku selepas kepergian mas Fadli
Aku mengambil sepeda dan mengayuhnya dengan penuh semangat,hari ini mas Fadli menambah semangat yang ada didiriku, setengah jam aku sampai dirumah,belum sampai maghrib, tapi dari luar rumah terlihat sangat sepi, tidak ada suara sedikitpun dari dalam, aku bergegas turun dari sepedaku dan masuk.
“Assalamu’alaikum ahhhhh” salamku dijawab sebuah tepung yang sampai dimukaku
“Selamat ulang tahun” sorak seluruh orang yang ada disitu, bahkan ada kakek dan nenekku disitu, aku kaget, bahagia, terharu, ngga tau harus ngomong apa
“Selamat ulang tahun yah nak, makasih sudah membantu kami sampai sekarang, kamu anak yng hebat, doa terbaik ibu sama ayah selalu kami ucapkan untuk kamu, maaf kalau kadonya cuma kecil, ngga seperti apa yang kamu bayangkan dan kamu lihat diluar sana” ucap ibuku sambil menyodorkan bingkisan kepadaku
“Kamu hebat nak, kamu melebihi ayah, ayah bangga, terus belajar dari kehidupan yah Mad, panjang umur” tambah ayah disamping ibu
Aku menangis haru, ternyata keluarga yang aku idam-idamkan ada disini, bukan kemewahan, bukan kekayaan, namun kehangatan mampu menghadirkan kebahagiaan yang luar biasa. Aku tidak bisa berkata apa-apa, aku memeluk kedua orang tuaku sambil menangis, kakek dan nenek tertawa dibelakangku.
“Ibu menyiapkan ini dari lama mas, ibu menyisihkan uang yang ayah kasih untuk membelikan mas Ahmad kado, itu sebabnya aku juga ngga bisa bilang” ucap adikku dari sebrang sana, aku mendengar ibuku tertawa ringan, tapi tangisku semakin kencang, diantara orang-orang yang aku temui, ada orang yang paling mengerti aku dan ingin aku bahagiakan. Itu ibuku.
Oleh: Sedulur Irham Nasirin
Komentar
Posting Komentar