Paradoks Ekowisata: Menyoal Kegagalan Keberlanjutan Pembangunan di Kawasan Raja Ampat
Raja Ampat, kawasan yang selama ini dikenal
sebagai simbol megabiodiversitas laut dunia dengan lebih dari 500 spesies karang
dan ribuan jenis ikan kini menghadapi paradoks yang memilukan. Wilayah yang
seharusnya menjadi benteng konservasi global justru menjadi objek eksploitasi
industri ekstraktif, khususnya tambang nikel. Fenomena ini tidak hanya memicu
krisis ekologis, tetapi juga mengguncang kepercayaan publik terhadap arah dan
esensi pembangunan nasional.
Alih fungsi lahan di sejumlah kawasan
seperti Pulau Gag, Kawe, dan Manuran dalam beberapa bulan terakhir telah
menimbulkan gelombang keresahan yang meluas. Bagi masyarakat adat, pengambilan
keputusan pembangunan tanpa pelibatan mereka adalah bentuk pengabaian terhadap
nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini menjadi penjaga alam Raja Ampat.
Sementara itu, dari sisi ekologis, kerusakan terumbu karang, sedimentasi, dan
polusi air yang timbul dari aktivitas pertambangan menunjukkan ancaman nyata
terhadap keberlanjutan ekosistem laut tropis yang sangat rentan.
Menurut Nimmi Zulbainarni, akademisi dari
Sekolah Bisnis IPB University, kasus Raja Ampat merupakan cermin nyata dari
kegagalan dalam memahami keberlanjutan secara substansial. Pembangunan yang
hanya berorientasi pada akumulasi kapital dan pertumbuhan ekonomi jangka pendek
dinilai telah mengabaikan fondasi ekologis dan sosial yang menjadi penopang
keberlangsungan hidup jangka panjang.
Lebih jauh, Nimmi menekankan pentingnya
pendekatan kebijakan berbasis valuasi ekonomi ekologis yang menyeluruh. Valuasi
semacam ini tidak semata mengkonversi lingkungan menjadi angka-angka rupiah,
melainkan menempatkan alam sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsik,
sosial, dan regeneratif. Pendekatan ini mencakup nilai penggunaan langsung
seperti pariwisata dan perikanan, nilai tidak langsung seperti perlindungan
pesisir dan fungsi serapan karbon, hingga nilai eksistensi yang mencerminkan
hak hidup makhluk dan generasi mendatang.
Alih fungsi ekosistem di kawasan pesisir
Raja Ampat memperlihatkan kontradiksi kebijakan yang mencolok. Di satu sisi,
pemerintah mempromosikan visi ekonomi biru dan pariwisata berkelanjutan; namun
di sisi lain, mengizinkan praktik ekstraktif di wilayah yang sama. Tanpa
instrumen tata kelola yang kuat dan kebijakan yang berakar pada prinsip
kehati-hatian serta partisipasi ilmiah (seperti Amdal yang kredibel),
pembangunan semacam ini justru menciptakan kerugian multidimensi ekonomi,
sosial, dan ekologis.
Data menunjukkan bahwa setiap hektare
terumbu karang di Raja Ampat dapat menghasilkan miliaran rupiah pertahun
melalui jasa ekosistem, yang berarti kehilangan ekosistem ini juga berarti
kehilangan nilai ekonomi jangka panjang yang jauh melebihi royalti sesaat dari
tambang nikel. Jika kerusakan lingkungan dapat diinternalisasi sebagai biaya
nyata dalam kebijakan publik seperti hilangnya hasil tangkapan nelayan, biaya
pemulihan lingkungan, dan turunnya kualitas hidup masyarakat maka keputusan
untuk mempertahankan kelestarian alam akan menjadi pilihan yang rasional, bukan
emosional.
Pada akhirnya, pembangunan sejati bukanlah tentang seberapa cepat pertumbuhan ekonomi dapat dicapai, melainkan seberapa kuat kita menjaga fondasi ekologis bangsa. Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau dengan potensi tambang, tetapi ekosistem hidup yang menyuarakan peringatan: bahwa pembangunan harus bijak, beradab, dan berlandaskan keberlanjutan antargenerasi.
Ditulis oleh: Ismi Amaliyah K. H.
Komentar
Posting Komentar