Korupsi Tanpa Keuntungan Pribadi: Masihkah Rasional?

 

sumber foto: CNN Indonesia

Vonis terhadap Tom Lembong baru-baru ini mengundang gelombang diskusi publik. Mantan Menteri Perdagangan itu dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp. 750 juta atas kasus impor gula yang dianggap merugikan negara hingga Rp. 194 miliar. Yang membuat banyak orang mengernyitkan dahi: ia tidak mengambil keuntungan pribadi, tidak memperkaya diri, bahkan disebut tidak punya niat jahat. Lalu, kenapa tetap dihukum?

Ini bukan pertama kalinya seorang pejabat tersandung kasus kebijakan publik. Tapi vonis kali ini terasa berbeda. Lembong dikenal sebagai ekonom yang mendorong reformasi ekonomi, pasar terbuka, dan transparansi kebijakan. Yang dipersoalkan dalam kasus ini adalah keputusannya membuka peluang impor gula pada tahun 2016 tanpa koordinasi menyeluruh dengan kementerian lain. Dalam hitungan auditor, kebijakan ini menyebabkan kerugian negara karena harga gula jatuh. Tapi bukankah harga yang turun justru menguntungkan rakyat? Bukankah menteri memang diberi kewenangan untuk membuat kebijakan berdasarkan kondisi pasar?

Jika setiap kebijakan yang berujung pada angka "kerugian negara" langsung dikriminalisasi, maka akan banyak menteri dan pejabat publik lain yang bisa dijerat. Padahal dalam birokrasi, pengambilan keputusan tidak selalu hitam-putih. Banyak keputusan diambil di tengah tekanan waktu, tekanan politik, bahkan tekanan harga bahan pokok. Di sinilah kita perlu membedakan antara diskresi (kewenangan mengambil keputusan) dan niat jahat (intensi untuk menyimpang demi keuntungan pribadi).

Vonis ini juga bisa membawa dampak psikologis dan struktural yang lebih luas. Ia bisa menciptakan efek jera. Namun bukan kepada pelaku korupsi melainkan kepada pejabat yang ingin membuat kebijakan baru sehingga mereka bisa menjadi terlalu hati-hati, takut salah langkah, dan akhirnya lebih memilih pasrah dengan keadaan daripada bertindak.

Tentu saja, semua pejabat publik tetap harus diawasi. Tidak boleh ada kebijakan yang sembarangan, apalagi merugikan rakyat. Tapi pengawasan tidak sama dengan kriminalisasi. Apalagi jika hukum tidak menimbang konteks dan niat, dan hanya terpaku pada hasil akhir berupa kerugian angka.

Kasus Tom Lembong semestinya jadi momen refleksi. Apakah kita sudah memiliki sistem birokrasi dan hukum yang mampu membedakan antara korupsi dan kesalahan kebijakan? Apakah kita ingin negara yang pejabatnya berani mengambil keputusan — atau negara yang membuat mereka takut dihukum meski niatnya benar?


Oleh: Arini Fauzatannisa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SMK N 1 Adiwerna Meraih Juara Kembali dalam IMT WALISONGO Cup Chapter VII

Pekan Ramadhan IMT: Tebar Kebaikan di Bulan Keberkahan

SIASAT 2024 : Membangun Kekeluargaan dan Solidaritas IMT Kom. Walisongo Semarang