Analisis Politik dan Hukum
Jika ditanya mana yang lebih panas di daerah Bekasi atau Ngaliyan maka jawabannya adalah pemilu ditahun ini. Bagaimana tidak, banyaknya rangkaian kejadian yang pada akhirnya mempengaruhi situasi politik saat ini. Mulai dari KPK yang tiba tiba sigap dalam menangani kasus korupsi Yasin Limpo kemudian putusan MK yang menuai kontroversi sampai pada sikap dan pernyataan Presiden yang mau ikut cawe cawe pada pemilu tahun ini. hal hal semacam inilah yang kemudian menjadikan alasan mengapa pemilu tahun ini terasa sangat panas. Dan yang akan menjadi pembahasan diartikel ini adalah, lalu bagaimana kondisi politik hukum ditahun pemilu ini?
Sebelum menganalisis rangkaian politik hukum ditahun ini alangkah baiknya kita mengetahui apa itu politik hukum. Perlu diketahui bahwa politik hukum adalah kebijakan tentang hukum yang menentukan arah, bentuk dan isi hukum yang mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum dalam rangka mencapai tujuan politik hukum yaitu tujuan sosial tertentu/tujuan negara. Jika dilihat dari definisi yang normatif memanglah seperti itu. Akan tetapi dalam praktiknya politik hukum seringkali memanfaatkan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan dan kepentingan para elit saja. Sebagai contoh adalah rangkaian peristiwa tahun ini dan kemarin yang melibatkan antara hukum dan politik.
Kita awali saja dengan pernyataan presiden yang akan cawe cawe pada pemilu tahun ini. Pernyataan ini diutarakan langsung oleh presiden pada bulan mei 2023 didepan media langsung yang membuat publik merasa terheran heran. Memang, presiden mengatakan cawe cawe dalam hal positif. Tapi kalau dilihat dalam KBBI bahwa arti cawe-cawe itu sendiri adalah ikut-ikutan atau ikut campur tangan. Hal inilah yang menuai prokontra terkait dengan indikasi kecurangan dan ketidakadilan serta melanggar konstitusi yang telah dilakukan pada pemilu kemarin. Bagaimana tidak, jika dilihat dalam UUD 1945 pasal 22 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Dapat dipahami jika dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa pemilu haruslah adil. Lalu bagaimana dengan campur tangan presiden apakah itu akan menjadikan pemilu kemarin adil?
Perlu kita ketahui bahwa presiden memang boleh berkampanye sesuai dengan undang undang no7/2017 pasal 281 yang menyebutkan bahwa presiden dan kepala daerah boleh ikut serta dalam kampanye. Namun dalam poin b dijelaskan bahwa boleh asalkan mereka menjalani cuti dan tidak boleh menggunakan fasilitas negara selain pengawalan. Sedangkan dalam praktiknya Presiden dalam rangkaian pemilu kemarin sama sekali tidak menjalankan cutinya sebagai presiden meskipun memang beliau tidak mengatakan secara eksplisit bahwa dirinya ikut berkampanye. Akan tetapi kalau kita lihat kemarin, meskipun presiden tidak menyatakan berkampanye namun dalam sikapnya presiden seolah ikut campur tangan terlebih salah satu paslonnya adalah anak sulungnya sendiri.
Kemudian adanya putusan MK no 90 yang kontroversi, bisa disebut sebagai putusan yang kontroversi karena memang yang menjadi ketua hakim MK saat itu adalah anwar usman yang mana Usman ini adalah ipar dari presiden dan paman dari gibran. Sedangkan yang diperkarakan adalah perihal ambang batas usia yang mana ini erat kaitannya dengan pencalonan Gibran yang belum cukup usia atau belum genap 40 tahun sebagai syarat pencalonan. Selain itu putusan MK yang seharusnya MK hanya berwenang sebagai negatif legislator atau membatalkan norma malah membentuk norma, padahal positif legislator adalah kewenangannya lembaga legislatif. Disini terlihat jelas bagaimana lembaga yudikatif sebagai tonggak keadilan dan superma hukum berjalan tidak sesuai arah.
Dari rangkaian kejadian yang ada, dapat disimpulkan bahwa hukum saat ini hanya sebagai alat kepentingan kaum elit dan sulit untuk dapat berpihak pada rakyat. Bagaimanapun pemilu tahun ini telah terselenggara dan kita hanya perlu menunggu hasilnya. Siapapun yang nantinya menjadi presiden dan wapresnya. Sebagai mahasiswa yang merupakan agent of change kita perlu juga menjadi agen penyeimbang dan sebagai pihak yang menempatkan diri sebagai oposisi permanen agar dikemudian hari tidak ada yang namanya kepemimpinan diktator dan sewenang wenang. Karena pemerintahan yang disokong oleh kekuasaan yang besar akan mudah terjerumus kedalam sifat otoriter dan diktator
Oleh: Sedulur Salman Al Farizi
Komentar
Posting Komentar